MamujuSulbar

Benchmarking Unimaju Tuai Kritik: Diduga Penuh Gimik dan Minim Manfaat Akademik

224
×

Benchmarking Unimaju Tuai Kritik: Diduga Penuh Gimik dan Minim Manfaat Akademik

Sebarkan artikel ini

Mamuju, RelasiPublik.id — Kegiatan benchmarking yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Mamuju (Unimaju) ke sejumlah industri dan kampus, yang seharusnya menjadi ajang pertukaran ilmu dan penguatan kolaborasi akademik, kini mendapat sorotan publik. Banyak yang menilai bahwa kegiatan ini lebih banyak menampilkan gimik daripada substansi nyata.

Sejumlah kegiatan benchmarking yang melibatkan birokrat kampus dan dosen Unimaju dinilai lebih menonjolkan aspek dokumentasi visual dan seremoni formal ketimbang pembahasan mendalam dan tindak lanjut konkret.

“Kami melihat tren benchmarking berubah menjadi ajang pencitraan. Banyak unggahan foto di media sosial dengan latar belakang industri dan kampus ternama, tetapi minim pembahasan kritis atau kerja sama lanjutan,” ujar Sahril, salah satu peserta benchmarking Unimaju tahun 2025.

Ia menambahkan, dalam beberapa laporan kegiatan, isi diskusi hanya sebatas pengenalan kampus dan tur fasilitas, tanpa adanya eksplorasi gagasan inovatif ataupun hasil konkret yang bisa diimplementasikan.

“Sebagian besar kegiatan bahkan hanya berujung pada tukar-menukar plakat dan sesi foto bersama,” tambahnya, Sabtu (5/7/2025).

Hal senada juga diungkapkan oleh beberapa mahasiswa peserta kegiatan. Mereka menilai kegiatan benchmarking terlalu sarat seremoni dan kurang menyentuh program nyata yang berdampak langsung pada peningkatan kualitas akademik.

“Kami berharap benchmarking membahas program riil, misalnya kerja sama pengembangan kurikulum atau penelitian bersama. Tapi yang kami temui justru banyak acara sambutan yang bertele-tele dan minim esensi,” ungkap salah satu mahasiswa.

Selain itu, para mahasiswa juga menyoroti kurangnya transparansi penggunaan anggaran kegiatan benchmarking. Tidak ada kejelasan mengenai peruntukan dana dan penggunaannya di lapangan.

“Substansi kegiatan benchmarking hilang karena lebih menyerupai acara jalan-jalan berkedok akademik. Padahal, benchmarking seharusnya menghasilkan output konkret, seperti laporan evaluatif, rencana kerja sama antar institusi, atau publikasi ilmiah,” lanjut Sahril.

Para mahasiswa juga menekankan bahwa kegiatan benchmarking tidak seharusnya menggantikan program magang. Menurut mereka, benchmarking ditujukan untuk mengevaluasi dan membandingkan kinerja institusi, bukan untuk memberikan pengalaman kerja seperti halnya magang.

“Magang memberikan pengalaman praktis dan pengembangan keterampilan kerja. Jadi benchmarking tidak pantas menjadi penggantinya, apalagi kalau mahasiswa harus mengeluarkan uang sendiri untuk kegiatan yang seharusnya dilaksanakan oleh pihak pengelola kampus,” tutup Sahril.

(Hl)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *